Revolusi Perancis
Penyebab
Pemerintah Perancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an, dan Louis XVI dikritik karena tidak mampu menangani masalah ini.
Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa sebab utama Revolusi Perancis adalah ketidakpuasan terhadap Ancien Régime. Lebih khusus, para sejarawan juga menekankan adanya konflik kelas dari perspektif Marxis;
hal yang umum terjadi pada akhir abad ke-19. Perekonomian yang tidak
sehat, panen yang buruk, kenaikan harga pangan, dan sistem transportasi
yang tidak memadai adalah hal-hal yang memicu kebencian rakyat terhadap
pemerintah. Rentetan peristiwa yang mengarah ke revolusi dipicu oleh
kebangkrutan pemerintah karena sistem pajak yang buruk dan utang yang
besar akibat keterlibatan Perancis dalam berbagai perang besar. Upaya
Perancis dalam menantang Inggris – kekuatan militer utama di dunia pada saat itu – dalam Perang Tujuh Tahun berakhir dengan bencana, menyebabkan hilangnya jajahan Perancis di Amerika Utara dan hancurnya Angkatan Laut Perancis. Tentara Perancis dibangun kembali dan kemudian berhasil menang dalam Perang Revolusi Amerika,
namun perang ini sangat mahal dan secara khusus tidak menghasilkan
keuntungan yang nyata bagi Perancis. Sistem keuangan Perancis terpuruk
dan kerajaan tidak mampu menangani utang negara yang besar. Karena
dihadapkan pada krisis keuangan ini, raja lalu memanggil Majelis Bangsawan pada tahun 1787, pertama kalinya selama lebih dari satu abad.
Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles dan terkesan acuh tak acuh terhadap krisis yang semakin meningkat. Meskipun secara teori pemerintahan Raja Louis XVI berbentuk monarki absolut, namun dalam praktiknya ia sering ragu-ragu dan akan mundur jika menghadapi oposisi yang kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi pengeluaran pemerintah, namun lawannya di parlement
berhasil menggagalkan upayanya untuk memberlakukan reformasi yang lebih
luas. Penentang kebijakan Louis semakin banyak dan berupaya menjatuhkan
kerajaan dengan berbagai cara, misalnya dengan membagikan pamflet yang
melaporkan informasi palsu dan dilebih-lebihkan untuk mengkritik
pemerintah dan aparatnya, yang semakin memperkuat opini publik dalam
melawan monarki.[4]
Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Perancis
adalah kebencian terhadap pemerintah, yang muncul seiring dengan
berkembangnya cita-cita Pencerahan. Ini termasuk kebencian terhadap absolutisme kerajaan; kebencian oleh masyarakat petani, buruh, dan kaum borjuis terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian terhadap Gereja Katolik atas pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di lembaga-lembaga negara; keinginan untuk memperjuangkan kebebasan beragama;
kebencian para pendeta perdesaan miskin terhadap uskup aristokrat;
keinginan untuk mewujudkan kesetaraan sosial, politik, ekonomi, serta
(khususnya saat Revolusi berlangsung) republikanisme; kebencian terhadap Ratu Marie Antoinette, yang dituduh sebagai seorang pemboros dan mata-mata Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena memecat bendahara keuangan Jacques Necker, salah satu orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di kerajaan.[5]
Pra-revolusi
Krisis keuangan
Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats Pertama (pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di punggungnya.
Louis XVI naik takhta menjadi raja Perancis di tengah-tengah krisis keuangan; negara sudah hampir bangkrut dan pengeluaran negara melebihi pendapatan.[6] Krisis ini terutama sekali disebabkan oleh keterlibatan Perancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi Amerika.[7] Pada bulan Mei 1776, menteri keuangan Turgot dipecat setelah ia gagal melaksanakan reformasi keuangan. Setahun kemudian, seorang warga asing bernama Jacques Necker ditunjuk menjadi Bendahara Keuangan. Necker tidak bisa menjadi menteri keuangan resmi karena ia adalah seorang Protestan.
Necker menyadari bahwa sistem pajak di Perancis sangat regresif; masyarakat kelas bawah dikenakan pajak yang lebih besar,[8] sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan banyak pengecualian.[9]
Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum bangsawan dan
pendeta harus dikurangi, dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak
uang agar permasalahan keuangan negara bisa teratasi. Necker menerbitkan
sebuah laporan untuk mendukung anggapannya ini, yang menunjukkan bahwa
defisit negara menembus angka 36 juta livre. Necker juga mengusulkan
pembatasan kekuasaan parlement.[8]
Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri Raja,
dan Necker, yang berharap bisa memperkuat posisinya, berpendapat bahwa
ia harus diangkat sebagai menteri, namun Raja menolaknya. Necker dipecat
dan Charles Alexandre de Calonne ditunjuk menjadi bendahara yang baru.[8] Calonne dengan cepat menyadari situasi keuangan negara yang sedang kritis dan mengusulkan pembentukan kode pajak yang baru.[10]
Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga dipungut pada kaum bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement, Calonne mengadakan pertemuan dengan Majelis Bangsawan,
berharap mendapat dukungan. Namun bukannya mendukung rencana Calonne,
Majelis malah melemahkan posisi Calonne dengan mengkritiknya. Sebagai
tanggapan, untuk pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil Etats-Généraux pada bulan Mei 1789. Pemanggilan ini sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki Bourbon sedang dalam keadaan lemah dan tunduk pada tuntutan rakyatnya.[11]
Etats-Généraux 1789
Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan (etats): pendeta (Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa Perancis (Etats Ketiga).[12] Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614, masing-masing golongan memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara ketiga. Parlement Paris khawatir bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander majelis untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu, mereka memutuskan bahwa susunan Etats harus sama dengan susunan 1614.[13] Aturan Etats 1614 ini berbeda dengan praktik pada majelis daerah; di daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu suara dan Etats Ketiga memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya. Sebagai contoh, di Dauphiné, majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats Ketiga, mengadakan pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota, bukannya satu suara per etats.[14]
Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok
liberal yang beranggotakan warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap
suara etats. Kelompok ini sebagian besarnya terdiri dari orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara di Etats-Généraux
harus sama dengan sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini
beranggapan bahwa sistem lama sudah tidak efisien karena "rakyatlah yang
berdaulat".[15]
Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan keputusan
penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.[15][16]
Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga adalah harus laki-laki kelahiran Perancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman di lokasi tempat pemilihan berlangsung, dan membayar pajak.
Pour être électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié au lieu de vote et compris au rôle des impositions.[17]
Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan, 300 pendeta, dan 610 anggota Etats Ketiga.[16] Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de Doléances) disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang dihadapi negara.[12][13][18]
Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin merebak setelah dicabutnya penyensoran pers.[15] Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik, berpendapat mengenai betapa pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce que le tiers état? (bahasa Inggris: "What is the Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan Januari 1789. Ia menegaskan: "Apa itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam tatanan politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa? Sesuatu."[13][19]
Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.
Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs, Versailles, pada tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh Necker. Etats Ketiga menuntut agar verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan bersama oleh semua deputi, bukannya masing-masing etats memverifikasi anggotanya secara internal; negosiasi dengan etats lainnya gagal mewujudkan hal ini.[18]
Golongan rakyat jelata bersitegang dengan kaum pendeta yang menjawab
kalau mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan. Necker
pada akhirnya memutuskan bahwa setiap etats harus memverifikasi anggotanya masing-masing dan "Raja bertindak sebagai penengah".[20] Namun, negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.[21]
Majelis Nasional (1789)
Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis (sketsa oleh Jacques-Louis David).
Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats Ketiga, dan sekarang mengikuti pertemuan sebagai Communes (Rakyat Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, namun ajakannya ini tidak diindahkan.[22] Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats,
namun dari golongan "Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk
bergabung, namun menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka
tetap akan mengatasi permasalahan bangsa."[23]
Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan
pertemuan, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des États, tempat
Majelis biasanya mengadakan pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca
tidak memungkinkan Majelis untuk menggelar pertemuan di luar ruangan,
sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah
lapangan tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Perancis.[24]
Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta
47 orang dari kaum bangsawan. Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan
secara terang-terangan telah menunjukkan penentangannya terhadap
Majelis, dan sejumlah besar pasukan militer mulai diterjunkan ke
seantero Paris
dan Versailles. Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris
dan dari kota-kota lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu
disusun kembali menjadi Majelis Konstituante Nasional.[24]
Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)
Penyerbuan Bastille
Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan
Perancis karena dianggap memanipulasi opini publik secara
terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte d'Artois, dan anggota konservatif lainnya dari dewan privy
mendesak Raja agar memecat Necker sebagai penasihat keuangan. Pada 11
Juli 1789, setelah Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada
publik, Raja memecatnya, dan segera merestrukturisasi kementerian
keuangan tidak lama berselang.[25]
Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak
langsung ditujukan pada Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka
setelah mereka mendengar kabar tersebut pada keesokan harinya. Mereka
juga khawatir terhadap banyaknya tentara – kebanyakan tentara asing –
yang ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional. Dalam
sebuah pertemuan di Versailles, Majelis bersidang secara non-stop untuk
berjaga-jaga jika nanti tempat pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris
dengan cepat dipenuhi oleh berbagai kerusuhan, kekacauan, dan
penjarahan. Massa juga mendapat dukungan dari beberapa Garda Perancis yang dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.[26]
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789.
Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di benteng dan penjara Bastille,
yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa
jam pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya.
Meskipun terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal,
Gubernur Marquis Bernard de Launay
dipukuli, ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak
dan diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya menahan tujuh tahanan
(empat pencuri, dua bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral,
dan seorang tersangka pembunuhan), Bastille telah menjadi simbol
kebencian terhadap Ancien Régime. Di Hôtel de Ville (balai kota), massa menuduh prévôt des marchands (setara dengan wali kota) Jacques de Flesselles sebagai pengkhianat, dan membantainya.[27]
Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk sementara waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain Bailly, presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan baru yang dikenal dengan komune. Raja mengunjungi Paris pada tanggal 17 Juli dan menerima sebuah simpul pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup Raja").[28]
Necker kembali menduduki jabatannya, namun kejayaannya berumur
pendek. Necker memang seorang ahli keuangan yang cerdik, namun sebagai
politisi, ia kurang terampil. Necker dengan cepat kehilangan dukungan
rakyat setelah menuntut amnesti umum.[29]
Setelah kemenangan Majelis, situasi di Perancis masih tetap memburuk.
Kekerasan dan penjarahan terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan
yang mengkhawatirkan keselamatan mereka berbondong-bondong pindah ke
negara tetangga. Dari negara-negara tersebut, para émigré ini mendanai kelompok-kelompok kontra-revolusi di Perancis dan mendesak monarki asing untuk memberikan dukungan pada kontra-revolusi.[30]
Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat
telah menyebar di seluruh Perancis. Di daerah pedesaan, rakyat jelata
mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi asing:
beberapa di antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari pemberontakan agraria umum yang dikenal dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar").
Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif menyebabkan meluasnya
kerusuhan dan kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya
hukum dan kacaunya ketertiban.[31]
Perumusan konstitusi baru
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme
(meskipun pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir
mengakhiri feodalisme). Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang
dikenal dengan Dekret Agustus, yang menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu beberapa jam, bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara,
yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan efek hukum.
Majelis Konstituante Nasional tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, namun juga sebagai badan untuk menyusun konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil
mencapai kesepakatan dengan senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh
Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan
agar majelis tinggi
dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan pada hari itu,
yaang memutuskan bahwa Perancis akan memiliki majelis tunggal dan
unikameral. Kekuasaan Raja terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa menunda implementasi undang-undang, namun tidak bisa membatalkannya. Pada akhirnya, Majelis menggantikan provinsi bersejarah di Perancis dengan 83 départements, yang dikelola secara seragam menurut daerah dan jumlah penduduk.
Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan
konstitusional, krisis keuangan terus berlanjut, sebagian besarnya belum
terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat. Honoré Mirabeau
kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan Majelis
memberi Necker hak penuh untuk mengelola keuangan negara.
Mars perempuan di Versailles
Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.
Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat
penerimaan pengawal Raja pada tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan
perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober 1789.
Kerumunan pertama berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota segera menindak permasalahan mereka.[32]
Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan ekonomi yang mereka
hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar
kerajaan menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan
menyerukan agar Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai
bentuk itikad baik dalam mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.
Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota,
sebanyak 7.000 wanita bergerak menuju Versailles dengan membawa meriam
dan berbagai senjata ringan. Sekitar 20.000 pasukan Garda Nasional di
bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi jalannya protes,
namun situasi menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu
istana, membunuh beberapa penjaga. La Fayette akhirnya berhasil membujuk
Raja untuk menyetujui permintaan massa, dan Raja beserta keluarganya
bersedia untuk kembali ke Paris. Pada tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan
keluarga kerajaan pindah dari Versailles ke Paris di bawah
"perlindungan" dari Garda Nasional.[33]
Revolusi dan Gereja
Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan mereka setelah dekret 16 Februari 1790.
Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya dikuasai oleh Gereja Katolik Roma menjadi dikuasai negara. Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi pemilik tanah terbesar di Perancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[34] Gereja dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak penghasilan, seringkali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari dîme tersebut yang diberikan kepada masyarakat miskin.[34] Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal di Perancis seperti Huguenots,
menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas
dendam kepada para pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka.
Pemikir Pencerahan seperti Voltaire membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan merendahkan Gereja Katolik dan mendestabilisasi monarki Perancis.[35] Menurut sejarawan John McManners, "Pada abad kedelapan belas, takhta Perancis dan altar berhubungan erat; dan hubungan ini runtuh..."[36]
Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama. Ketika Majelis Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta memilih untuk bergabung dengan Majelis.[37]
Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi sosial dan ekonomi.
Undang-undang baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan kewenangan
gereja untuk memungut zakat. Dalam upayanya untuk mengatasi krisis
keuangan, pada tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa
properti Gereja menjadi "milik negara".[38] Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang baru, assignats.
Dengan demikian, mulai saat itu keberlangsungan Gereja juga menjadi
tanggungjawab negara, termasuk membayar para pendeta untuk merawat
orang-orang miskin, orang sakit, dan yatim piatu.[39]
Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanah-tanah milik Gereja
kepada penawar tertinggi untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini
efektif menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam waktu dua tahun.[40] Pada musim gugur 1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah monastik dirumuskan, dan pada 13 Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.[41] Para biarawan dan biarawati disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di antaranya akhirnya menikah.[42]
Konstitusi Sipil Pendeta,
yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa pendeta
adalah pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor
dan uskup paroki, serta menetapkan upah bagi para pendeta. Sebagian
besar pendeta Katolik keberatan dengan sistem pemilihan ini karena hal
itu berarti bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus
di Roma atas Gereja Perancis. Akhirnya, pada bulan November 1790,
Majelis Nasional mulai mewajibkan "sumpah setia pada Konstitusi Sipil"
bagi semua pendeta Katolik.[42]
Hal ini menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil
sumpah dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan,
24% dari semua pendeta di Perancis telah mengambil sumpah.[43]
Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi akan "dibuang,
dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat."[40] Paus Pius VI tidak pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini, yang berakibat pada semakin terisolasinya Gereja Perancis. Selama Pemerintahan Teror,
upaya besar-besaran de-Kristianisasi di Perancis terjadi, termasuk
memenjarakan dan membantai para pendeta, serta pengrusakan Gereja dan
gambar-gambar relijius di seluruh Perancis. Upaya untuk menggantikan
kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya dengan mengganti festival
agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Alasan
adalah langkah terakhir dalam de-Kristenisasi radikal di Perancis.
Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan penentangan terhadap
Revolusi di seluruh Perancis. Warga seringkali menolak de-Kristenisasi
dengan cara menyerang agen revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang
sedang diburu. Pada akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik dipaksa untuk menentang kampanye dengan menggantikan Kultus Alasan dengan deisme, walaupun masih non-Kristen.[44] Konkordat 1801
antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode de-Kristenisasi dan mulai
membentuk aturan-aturan yang mengatur mengenai hubungan antara Gereja
Katolik dengan negara, yang tetap berlaku hingga tahun 1905, kemudian
diubah oleh Republik Ketiga
dengan memisahkan urusan Gereja dengan urusan negara pada tanggal 11
Desember 1905. Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.
Kemunculan berbagai faksi
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Majelis Konstituante Nasional.
Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.
"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan
distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas yang bebas dari yang.
Kelas menengah Garda Nasional
yang juga naik pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul
sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang didirikan
sendiri lainnya.
Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi
Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Ke arah Konstitusi.
Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, namun juga sebagai badan untuk mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan majelis tinggi
aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan
di hari itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral.
Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda implementasi
hukum, namun tidak bisa mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober
1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga
kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.
Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu
majelis ini memusatkan perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk
defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk memusatkan
perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan
kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.
Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta
Untuk diskusi lanjutan, lihat Konstitusi Sipil Pendeta.
Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan
perhatian pada krisis keuangan ini dengan meminta bangsa mengambil alih
harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran gereja) melalui hukum
tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan cepat, pemerintah meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja yang disita.
Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal 26 Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta mereka bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan negara sekuler.
Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan pendeta dari Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus
tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini menimbulkan
perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan
menerima rencana baru itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan
"bukan anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang menolak
berbuat demikian.
Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau
Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa antara 14 Juli 1790 - 30 September 1791, lihat Dari peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.
Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll., yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars
memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal
untuk "setia pada negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut
serta secara aktif.
Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, namun dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune
tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga Perancis memiliki
konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru, namun
Mirabeau menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah
secara fundamental, dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum
sempurnanya konstitusi.
Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan
pecah dan berbagai usaha terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian
pasukan pasukan terhadap revolusi yang semuanya gagal. Pengadilan
kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi." [1]
Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.
Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung
senioritas dan bukti kompetensi (daripada kebangsawanan) mengubah
beberapa korps perwira yang ada, yang yang bergabung dengan pangkat
émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.
Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Perancis, yang paling menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club Monarchique.
Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari nama
dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran
protes dan malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya
menutup Club Monarchique pada bulan Januari 1791.
Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk
mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah organisasi yudisial membuat
semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator menghapuskan
jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai
untuk kasus-kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk
mengusulkan perang, kemudian legislator memutuskan apakah perang
diumumkan atau tidak. Majelis itu menghapuskan semua penghalang
perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja:
setiap orang berhak berdagang melalui pembelian surat izin; pemogokan
menjadi ilegal.
Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi terhadap émigré.
Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk
pergi. Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu
ditempatkan di kode Drako." [2]
Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791.
Mignet berkata, "Tak seorang pun yang menyamainya dalam hal kekuatan
dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru
akan mengadopsi ukuran "drako" ini.
Pelarian ke Varennes
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Pelarian ke Varennes.
Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, namun menolak bantuan
yang kemungkinan berbahaya ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan
dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan emigrasi dan majelis itu, dan
menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.
Pada malam 20 Juni 1791,
keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja
yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan
ditangkap di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.
Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became penasihat dan pendukung keluarga raja.
Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan sang raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional
Untuk diskusi lebih jelas, silakan lihat Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional.
Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional daripada republik,
sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak
lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan
sebuah dekret menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer
untuk mengumumkan perang atas bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk
berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta secara de facto.
Jacques Pierre Brissot
mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI
dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins
memberikan pidato berapi-api. Majelis menyerukan pemerintah kotamadya
untuk "melestarikan tatanan masyarakat". Garda Nasional di bawah komando
Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para prajurit membalas
serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan
Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan,
menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.
Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari bersembunyi.
Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz
yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri,
meminta pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan
menjanjikan serangan ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi
menolak syarat tersebut.
Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang
Perancis tidak mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman
militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.
Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah
menentukan untuk menghalangi diri dari legislatur yang akan menggantikan
mereka, Majelis Legislatif.
Kini mereka mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka
sahkan ke dalam konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang luar biasa
dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk
revisi utama, dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu,
yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak mempertahankannya di dalam
negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan menyebabkan
pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja
memuji majelis dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para
anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September 1791.
Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah,
kemudian yang terkuat; seperti yang diketahui benar, karena kekuatan
yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga itu... Dalam
konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, namun tak melaksanakan
apapun." [3]
Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki
Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober 1791 - 19 September 1792, lihat Majelis Legislatif dan jatuhnya monarki Perancis.
Majelis Legislatif
Di bawah Konstitusi 1791, Perancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, namun ia masih bisa mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih menteri.
Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica:
"Dalam mencba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu
membiarkan kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan
laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman dan
berhasil."
Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun.
Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu menyatakan bahwa pendeta non-juri
harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah sipil yang
diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun,
ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi.
Perang
Politik masa itu membawa Perancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria
dan sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin
khususnya menginginkan perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant
bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga
meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya
akan membuatnya lebih kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi
ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal yang menentang perang,
lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri.
Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, namun meninggal pada tanggal 1 Maret 1792.
Perancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Perancis telah dimulai.
Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Perancis,
pertempuran militer yang berarti atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Perancis dan Prusia (20 September
1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri
Perancis membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis
menghadapi huru-hara dan monarki telah menjadi masa lalu.
Krisis konstitusi
10 Agustus 1792 di Komune Paris
Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni Paris,
menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang
muktamar Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga
wakil, hampir semuanya Jacobin.
Akhirnya pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat
commune mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal
1400 korban, dan mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis
untuk mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan
perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto
baru di Perancis. Di hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki
dan mendeklarasikan republik. Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal
Tahun Satu dari Kalender Revolusi Perancis.
Konvensi
Eksekusi Louis XVI
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara 20 September 1792- 26 September 1795, lihat Konvensi Nasional.
Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan komite itu.
Dalam Manifesto Brunswick,
tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Perancis
jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki.
Sebagai akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh
Perancis. 17 Januari 1793
menyaksikan tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap
kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi.
Eksekusi tanggal 21 Januari
menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis
yang kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine
pada tanggal 16 Oktober.
Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes
(buruh miskin dan Jacobin radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi
mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong kelompok
Jacobin merebut kekuasaan melalui kup
parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang didapatkan dengan
menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan dengan
memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.
Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror
Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin melepaskan tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert,
semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa menyebabkan
seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.
Pada tahun 1794 Robespierre
memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat
dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya
terkikis sama sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Perancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor,
yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan hukuman mati
buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite
Keamanan Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas
Girondis yang lolos dari teror, dan setelah mengambil kekuasaan menuntut
balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah
membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum
mati sejumlah besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.
Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795; sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September 1795.
Direktorat
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September 1795 - 9 November 1799, lihat Direktorat Perancis.
Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur bikameral pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.
Régime
baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa.
Pasukan meredam pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara
ini pasukan tersebut dan jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.
Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804) pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa Revolusi Perancis.
Dampak terjadinya revolusi Perancis
Revolusi Perancis memiliki banyak dampak terhadap keberlangsungan
pemerintahan Perancis sendiri maupun terhadap negara lain seperti
Indonesia sekalipun belum memiliki bentuk negara. Adapaun dampak
terjadinya revolusi Perancis dapat dibagi menjadi beberapa bidang
seperti dibawah ini:
Bidang Politik
Dengan membaca ulasan di atas tentunya kita dapat memahami dampak apa
yang terjadi di bidang politik dengan adanya revolusi Perancis. Namun
tidak ada salahnya jika kita singgung sedikit mengenai dampak politi
tersebut.
Dampa utama yang ditimbulkan revolusi perancis terhadap sistem
politik jelas berupa kekuasaan absolut yang sangat dicam oleh rakyat.
Lebih dari itu, paham liberal yang muncul dengan adanya revolusi
Perancis sangat pesat menyebar hingga ke penjuru dunia seperti Spanyol,
Jerman, Rusia, Austria, dan Italia. Dengan adanya revolusi Perancis
tumbuh pula paham demokrasi, parlementer, republik, dan lain sebagainya
yang tentunya juga mulai tumbuh di negara lain.
Bidang Sosial
Dalam perjuangan revolusi Perancis jelas dapat kita ketahui bahwa
stratifikasi sosial di negara tersebut dihapuskan, memberikan hak dan
kewajiban yang sama terhadap seluruh rakyat serta memberikan kebebasan
dalam menentukan agama, pendidikan, dan pekerjaan.
Bidang Ekonomi
Dihapusnya sistem gilde, yakni sistem dalam peraturan perdagangan.
Dengan dihapusnya sistem ini maka perdagangan dan industri dapat
berkembang dengan cukup baik di Perancis pasca revolusi Perancis.
Disisi lain kehidupan petani juga memiliki peningkatan, hal ini tidak
lain karena dihapusnya pajak feodal dan selain sebagai penggarap tanah,
petani juga diberikan hak untuk memiliki tanah. Dengan demikian
pendapatan dan taraf hidup petani perlahan semakin meningkat.
Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Indonesia
Salah satu wilayah yang terkena dampak positif dari terjadinya
revolusi Perancis adalah Indonesia. Meskipun pada saat itu kedaulatan
NKRI dan kemerdekaan Indonesia belum menemu jalannya, namun peristiwa
revolusi Perancis memberikan inspirasi bagi para tokoh di Indonesia.
Beberapa paham yang turut dijadikan sebagai motor penggerak massa
mencari jalan Indonesia dalam kebabasan dan kemerdekaan adalah sebagai
berikut:
Paham Nasionalisme
Sebagaimana catatan sejarah yang ada, paham nasionalisme muncul dan
berkembang di daratan Eropa. Setelah adanya revolusi Perancis paham ini
menyebar dengan cepat di daratan Asia dan Afrika, tidak terkecuali
Indonesia dalam melawan negara imperialis Barat yang telah lama
berkongko di Indonesia.
Adalah Boedi Oetomo salah satu organisasi nasional yang telah
mengikuti paham nasionalisme dan berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Dari
organisasi nasional pertama di Indonesia ini kemudian paham nasionalisme
semakin terkenal dan menyebar di Indonesia sehingga bermunculan
pergerakan nasional di negara kita tercinta.
Paham Demokrasi
Meskipun tidak secara langsung terkena dampak dari terjadinya
revolusi Perancis, namun secara tidak langsung paham demokrasi yang
mulai muncul di Indonesia pada Abad ke-20 merupakan bukti menyebarnya
paham demokrasi ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dibuktikan pada saat
pemerintah Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Indonesia memutuskan
kaum bumi putera wajib militer guna memperkuat keamanan. Mendengar
keputusan tersebut yang terjadi pada tahun 1916 ini maka Boedi Oetomo
mengirimkan wakilnya yakni Dwidjosewoyo untuk melakukan perundingan dan
negosiasi terhadap para pemimpin Belanda di Indonesia. Dari hasil
negosiasi tersebut pemerintah Belanda tidak jadi memberikan wajib
militer bagi penduduk pribumi melainkan diganti dengan pendirian
Volksraad yakni Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda yang diresmikan
pada tanggal 16 bulan Desember tahun 1916.
Selain hal tersebut diatas, bukti paham demokrasi muncul di Indonesia
setelah adanya revolusi Perancis ialah adanya tuntutan Indonesia
Ber-parlemen. Bentuk perjuangan dan asas yang dianut dalam sistem
parlemen tetunya sedikit banyak terinspirasi oleh perjuangan rakyat
Perancis pada masa revolusi Perancis. Dengan adanya paham ini kemudian
partai-partai politik di Indonesia bergabung membentuk wadah baru yang
disebut dengan Gabungan Politik Indonesia atau yang sering disingkat
GAPI. Dalam perjuangannya GAPI menyerukan bahwa Indonesia Berparlemen.
Hal ini dilakukan guna menghindari paham fasisme yang pada saat itu
sangat meresahkan dunia khususnya pada masa perang dunia II.
Persatuan
Sebagaimana kita ketahui bahwa revolusi Perancis dapat berjalan
dengan lancar karena adanya persatuan dari rakyat-nya. Hal itu pula
menginspirasi Indonesia untuk menumbuhkan sikap persatuan dalam
perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satu bukti awal lahirnya persatuan
di Indonesia setelah adanya revolusi Perancis adalah digunakannya
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini diikrarkan oleh para
pemuda Indonesia yang kemudian kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”.
Komentar
Posting Komentar